Museum Visit: Selasar Sunaryo, “Lawangkala”

Lawangkala adalah pameran solo yang dilaksanakn Pak Sunaryo untuk memperingati 20 tahun berdirinya selasar ini. Konsep dari pameran kali ini adalah Lawangkala atau secara etimologis adalah pintu waktu. Lawangkala ini menceritakan tentang waktu dan kesementaraan. Saat hendak menyusuri pameran ini, saya didampingi oleh Mbak Aam, seorang pemandu pameran ini dan sempat sedikit mewawancarai beliau terkait pameran ini.

Dalam pameran Lawangkala ini kita pertama disambut dengan instalasi lorong yang terinspirasi dari ‘bubu’. Bubu adalah alat memancing tradisional yang sering digunakan di Indonesia. Mengapa mengambil bubu sebagai inspirasinya? Karena bubu ini sifatnya tunnel satu arah, saat ikannya sudah masuk, dia tidak akan bisa keluar dari tempat ia masuk. Ia harus menyusuri bubunya dahulu untuk bisa keluar. Sama seperti hidup, banyak sekali hal yang dengan mudahnya kita masuki namun tidak semudah itu untuk keluar.

Dalam instalasi ini, terdapat 3 fase yang dimaknai sebagai fase-fase kehidupan. Dalam fase pertama kehidupan, kita masih belum dewasa dan rintangan kehidupan yang dilalui pun tidak terlalu banyak maka itu dalam fase ini Pak Sunaryo menggambarkannya dengan lorong yang lurus, masih cerah dan masih ada cahaya yang masuk kedalamnya. Pak Sunaryo juga menggunakan material alam seperti bambu dan luwang (kertas dari kayu yang teksturnya agak kasar). Alasan pemilihan material alam ini adalah untuk menunjang konsep kesementaraan karena material alam tidak awet.

 
Ini adalah lorong fase yang pertama. 
Lurus dan cerah.
            Setelah beranjak dari fase yang pertama, kita akan masuk ke fase kedua. Disini sudah mulai memasuki fase yang rumit maka dari itu suasananya agak sedikit suram dan berbelok-belok. Suasana ini didukung dengan audio instrumental yang sedikit suram,  suasana lorong yang gelap  dan bebauan bambu yang sudah agak lapuk. Hal ini dimaknai bahwa saat kita sudah beranjak dewasa, akan semakin banyak rintangan yang kita hadapi. Akan semakin banyak hal yang harus kita pikirkan.

 
Ini adalah fase kedua, terlihat cukup jelas bahwa disini cukup gelap dan jalan pun mulai berbelok-belok.

Dalam pameran ini, banyak sekali terselip elemen warna merah. Dan setelah saya bertanya kepada Mbak Aam, ternyata ini memang ciri khas Pak Sunaryo. Bahkan ada satu kala ia membuat pameran yang isinya merah semua. Untuk alasan mengapa warna merah, Mbak Aam pun tidak tahu. Menurutnya, mungkin Pak Sunaryo memang memiliki daya tarik tersendiri pada warna merah.

 
Berikut ini salah satu contoh selipan ornament  merah di dalam instalasi.
            Di penghujung lorong fase kedua ini, terdapat instalasi yang cukup besar berbentuk setengah lingkaran yang ujung dari lingkaran itu adalah cahaya dari luar. Mbak Aam berkata bahwa ini layaknya tempat anda merenung. Setelah anda mendapatkan masalah, pasti ada saatnya untuk anda diam sejenak dan merenungi masalah itu. Dan menurut saya, dengan adanya cahaya yang masuk dari luar itu bisa diartikan sebagai tempat ilham akan datang. Seperti bentuk rasa optimis bahwa cahaya itu akan datang untuk menerangi kemelut masalah kita.

Ini adalah space berpikir yang dimaksud oleh Pak Sunaryo. Dan di penghujungnya ada tempat cahaya masuk.
Selesai dari situ, kita beranjak ke fase ketiga. Dari sini ambiance dari lorong ini menjadi lebih cerah. Sebuah perumpamaan dari ilham yang kita dapatkan seusai merenung yang membuat kehidupan kita menjadi lebih terang. Setelah itu, kita dihadapkan dengan pintu keluarnya yang satu arah juga, jadi saat sudah keluar pun tak bisa masuk dari pintu itu. Kita harus mengikuti saja arus yang diberikan kehidupan untuk kita.









                                    Fase ketiga, ambiancenya lebih cerah.
 

Pintu keluar satu arah.

Comments